Dua tahun yang lalu, saya dan keluarga melakukan perjalanan yang cukup panjang untuk mudik. Perjalanan tersebut adalah perjalanan mudik yang paling berbeda dari sebelumnya karena suami mengajak saya dan anak-anak untuk road trip dengan mobil dari Bandung ke Samarinda.
Biasanya kami mudik naik pesawat ke rumah mertua di Makassar. Tetapi saat itu kebetulan mertua sedang menjalankan ramadan di rumah kakak ipar yang tinggal di Samarinda dan akan berlebaran di sana juga.
Awalnya saya menolak ide suami ini karena anak bungsu kami ketika itu masih berusia 16 bulan. Terbayang juga perjalanan panjang yang harus kami lalui.
Dari Bandung, kami harus melakukan perjalanan dulu ke Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, berhubung Bandung tidak punya pelabuhan. Kemudian kami harus naik kapal laut selama satu setengah hari ke Balikpapan, lalu dilanjutkan dengan perjalanan darat menuju Samarinda. Buat apa susah-susah?
Tapi suami meyakinkan saya dan bilang kalau ini akan jadi pengalaman baru untuk kami. Saat itu jalan tol lintas Jawa sudah terhubung, sehingga perjalanan Bandung-Surabaya tidak akan sesulit dulu. Dia juga bilang jika perjalanan ini akan dilakukan dengan santai dan tidak terburu-buru.
Akhirnya saya menyetujui idenya itu, sedangkan para kakek dan nenek mengkhawatirkan jika anak bungsu kami akan kelelahan dan sakit. Walaupun begitu, kami tetap memulai perjalanan mudik tersebut.
Bandung – Semarang
Rute pertama kami adalah menuju Kota Semarang. Kami memulai perjalanan pada malam hari setelah berbuka puasa terlebih dulu. Saat itu jalan tol Cisumdawu baru saja dibuka, dan setelah digabung dengan jaringan tol lainnya membuat perjalanan Bandung-Semarang hanya memerlukan waktu 4 jam saja.
Kami sampai di Semarang pada tengah malam dan langsung menginap di sebuah hotel. Pada pagi harinya, kami naik ke lantai 30 dimana terdapat kolam renang. Kami bisa melihat pemandangan Kota Semarang dari ketinggian di sana. Kami baru tahu jika ternyata kolam renang tersebut adalah kolam renang hotel yang tertinggi di Indonesia. Sayang, kami tidak bisa berenang di sana karena sedang berpuasa.
Semarang – Surabaya
Kami hanya sebentar di Semarang dan berjalan lagi menuju Surabaya. Perjalanan dari Semarang ke Surabaya adalah 5 jam. Kami tidak langsung ke pelabuhan, tetapi menginap dulu di Surabaya.
Besok paginya, kami berjalan-jalan dulu ke Madura dengan menyeberangi jembatan Suramadu. Setelah itu kembali lagi ke hotel untuk check out. Karena jadwal keberangkatan kapal laut masih lama, yaitu pada malam hari, kami pun bisa berjalan-jalan dulu di mall.
Pelabuhan Tanjung Perak – Pelabuhan Semayang
Setelah berbuka puasa, kami pergi ke Pelabuhan Tanjung Perak untuk naik kapal Dharma Lautan Utama. Kami menunggu dan mengantri cukup lama untuk bisa masuk kapal. Tidak hanya mobil pribadi, truk pun banyak yang mengantri untuk diangkut.
Setelah beberapa waktu menunggu, kami bisa naik kapal dan memarkirkan mobil di dalamnya. Lalu kami naik ke lobby untuk mengambil kamar. Saat itu, kamar tidak bisa dipesan langsung dari website, tapi harus naik kapal dulu baru bisa pesan kamar.
Waktu itu kami kebagian kamar kelas 2, tapi petugasnya bilang kalau kami bisa upgrade kamar, tapi harus menunggu beberapa waktu dulu. Jadi, kami pun pergi ke kamar kami. Kamar itu terdiri dari dua kasur bertingkat. Kamar tersebut tidak memiliki kamar mandi pribadi sehingga kami harus berbagi kamar mandi umum dengan yang lainnya.
Ternyata, waktu yang dibutuhkan kapal untuk loading kendaraan dan penumpang cukup lama. Di saat menunggu itu, petugas mendatangi kami dan bilang jika kami bisa upgrade kamar. Akhirnya kami pindah ke kamar kelas 1 yang memiliki kamar mandi pribadi. Kamar tersebut terdiri dari dua tempat tidur singel dan satu sofa panjang.
Setelah itu kapal pun mulai berlayar dan ketika kapal sudah cukup jauh meninggalkan daratan, sinyal pun hilang, sehingga kami harus menjalani hari tanpa ponsel, sedangkan saluran televisi di dalam kamar pun tidak ada yang menarik. Tetapi ini ada baiknya.
Selama di atas kapal, kami jadi bisa mengeksplor bagian dalam maupun luar kapal. Kami senang berjalan-jalan di atas dek sambil melihat pemandangan laut biru yang luas. Sesekali melihat juga ke bawah, siapa tahu ada rombongan lumba-lumba lewat, tapi sayangnya tidak ada.
Karena kami pergi di saat musim mudik, keadaan kapalnya cukup penuh penumpang. Kami pun jadi berkenalan dengan penumpang lainnya dan berbagi cerita.
Di saat menjelang Maghrib, banyak penumpang yang keluar dan berdiri di dek karena ingin melihat sunset sambil menunggu waktu berbuka. Kami menyaksikan proses terbenamnya matahari ke bawah garis cakrawala laut. Ketika matahari telah hilang dari pandangan, itu adalah tandanya untuk berbuka.
Sebenarnya kami diberikan jatah makanan untuk berbuka maupun sahur, tapi saat itu kami melihat makanan yang cukup bervariasi di restoran kapal sehingga kami ingin mencoba makanan yang ada di restoran.
Di atas kapal tersebut juga ada mushala yang cukup luas dan di sana diadakan shalat tarawih.
Keesokan harinya, setelah sahur dan shalat subuh, kami keluar lagi ke dek kapal untuk melihat sunrise. Tapi, awannya cukup tebal sehingga kami hanya melihat cahaya orange muncul tersebar di langit.
Selanjutnya, kami kembali ke kamar dan menunggu kapal untuk bersandar. Semakin mendekati daratan, sinyal ponsel pun kembali ada. Kapal bersandar sekitar jam 11 siang di Pelabuhan Semayang, Balikpapan.
Setelah kapal bersandar sempurna, kami bersiap-siap keluar dari kamar dan turun ke tempat parkir. Ternyata, proses mobil keluar dari kapal membutuhkan waktu yang cukup lama. Hal itu karena mobil maupun truk keluar dari pintu yang sama sehingga kami harus menunggu giliran sesuai posisi mobil.
Kami harus bersabar karena mobil kami jauh dari pintu keluar. Beberapa waktu kami menunggu di dalam mobil dan akhirnya kami bisa keluar dari kapal. Hari itu kami tidak langsung menuju Samarinda, kami ingin jalan-jalan dan menginap dulu di Balikpapan.
Keesokan harinya, barulah kami pergi menuju Samarinda. Perjalanan dari Balikpapan ke Samarinda membutuhkan waktu 1,5 jam.
Ketika kami sampai di rumah kakak ipar, keluarga menyambut kami dengan bahagia. Mereka geleng-geleng kepala karena kami memilih jalan sulit untuk sampai di Samarinda. Tapi syukurlah kami semua sehat dan perjalanannya lancar.
Total jarak yang kami tempuh pada perjalanan darat dan laut tersebut adalah lebih dari 1800 km. Walaupun begitu, kami menikmati setiap momen yang kami lalui karena kami melakukan perjalanan dengan santai.
Cerita mudik dua tahun yang lalu itu menjadi kenangan yang tak terlupakan untuk kami.