Cuti bersama datang, saatnya mudik! Alhamdulillah ya Allah … tahun ini rupanya cuti bersama lebaran agak lebih panjang dari biasanya. Apalagi kemudian bos kantor saya memberi kebijakan boleh disambung cuti tahunan. Tentu saja hal ini disambut baik teman-teman yang ingin liburan lebih lama. Banyak yang mengajukan cuti pribadi.
Jadi sudah beberapa tahun terakhir, bos kantor saya memiliki kebijakan tidak boleh menambah cuti pribadi menyambung cuti bersama lebaran. Jika kemudian kebijakannya berubah, tentu teman-teman yang mudiknya jauh ke Jawa misalnya – masih bisa menambah hari berkumpul bersama keluarga besar. Alhamdulillah.
Kalau saya dan suami memilih untuk tidak menambah cuti, walaupun mudik kami juga jauh ke Malang. Pertimbangan tidak menambah cuti adalah cuti bersama kali ini sudah cukup panjang. Kemudian anak-anak juga langsung sekolah setelah cuti bersama usai. Jadi marilah libur secukupnya. Cuti pribadi bisa dipakai kapan saja jika memang dibutuhkan kelak.
Bicara tentang mudik kali ini lebih banyak bicara tentang rasa. Saya, suami dan ketiga anak kami akan ke Malang, ke rumah masa kecil saya. Rumah yang masih ditempati oleh kedua orang tua saya dan dua kakak saya.
Jika sebelumnya mudik adalah hanya tentang rasa suka cita dan gembira, maka mudik kali ini adalah bagaimana memunculkan rasa empati dan keikhlasan.
Seperti pernah saya ceritakan pada artikel saya tempo hari, kali ini mama saya sudah sangat sepuh dan menderita demensia. Setiap hari saya memantau di WA grup, kondisi mama selalu fluktuatif cenderung memburuk.
Lansia dengan demensia seolah hidup dalam dunianya sendiri. Ia banyak mengingat masa-masa aktif dalam hidupnya. Namun banyak melupakan ingatan jangka pendek. Ia mengalami banyak malam dengan kesulitan tidur dan memaksa penjaganya untuk menemaninya terbangun sepanjang malam.
Saya sudah selalu sounding pada suami seperti apa mama sekarang. Suami juga terakhir bertemu dengan mama saat suami tugas ke Jawa tahun lalu. Sedikit banyak dia sudah tahu situasi dan kondisi yang akan kami hadapi di Malang nanti.
Beda dengan anak-anak. Terakhir bertemu omanya, anak-anak masih melihat oma segar bugar. Walaupun sudah mulai mengulang-ulang pertanyaan, namun secara umum kondisinya masih sangat bagus.
Maka saya sibuk memberikan spoiler, peringatan, cerita, tentang bagaimana oma sekarang dan bagaimana mereka harus merespons apapun yang mereka hadapi di Malang nanti.
“Oma sekarang seperti punya dunia sendiri. Jadi jangan sedih, jangan kecewa, jika oma tidak menyapa kalian. Tidak tersenyum. Tidak bertanya. Sebaliknya kalian tetap harus menyapa, tersenyum, dan bertanya pada oma tentang apa saja,” tutur saya. Anak-anak hanya iya-iya saja.
“Jangan takut misalnya oma marah-marah atau teriak-teriak seperti anak kecil. Itu bukan kemauannya oma sendiri. Itu semua pengaruh demensia pada oma.”
Anak-anak manggut-manggut.
Pernah terpikir apakah anak-anak sebaiknya bermalam di rumah yang lain? Tapi untuk apa kondisi omanya disembunyikan? Justru lebih baik anak-anak melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana usia dan demensia dapat mengubah seseorang. Bagaimana oma yang penyayang berubah menjadi oma yang harus selalu disayang dan diperhatikan.
“Kalian tidak usah takut melihat kondisi oma nanti. Kalian harus tetap di dekat oma. Pijit-pijit kakinya kek, sekadar menyapa, atau hanya duduk di dekat oma saja.”
Saya teringat sepenggal dialog dalam film “How To Take Millions Before Grandma Dies” yaitu: Hal yang dibutuhkan lansia, yang tidak bisa diberikan oleh anak-anaknya, adalah: waktu.
Bukan uang, bukan emas permata, bukan deposito. Tapi waktu. Yang kadang sebenarnya kita miliki, namun sering kita gunakan untuk hal-hal yang tak perlu.
Maka marilah mudik kali ini, kita maksimalkan waktu untuk berada di dekat dia yang tersayang. Yang telah mencintai kita tanpa syarat sepanjang hidup kita. Karena … sang waktu tak selalu berpihak pada kita. Mari mudik ke dalam relung-relung hati paling dalam. Menemukan cinta yang tak pernah mati. Memberikan cinta yang tak pernah pudar dimakan usia dan waktu.