Mudik Hijau: Sebuah Perjalanan Pulang yang Berbeda

- Penulis Berita

Sabtu, 22 Maret 2025 - 09:50 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Mudik selalu punya cerita. Hampir setiap tahun, saya dan keluarga ikut dalam arus besar manusia yang berbondong-bondong pulang ke kampung halaman. Namun, di balik kerinduan akan rumah dan keluarga, ada satu hal yang selalu mengganjal di benak saya: jejak yang kami tinggalkan di sepanjang perjalanan. Asap kendaraan yang menyesakkan, sampah yang berserakan di rest area, serta kemacetan yang membuat bahan bakar terbuang sia-sia. Lama-lama, saya mulai bertanya, apakah ada cara lain untuk menjalani tradisi ini tanpa mengorbankan lingkungan?

Tahun lalu, saya dan keluarga memutuskan untuk mencoba sesuatu yang berbeda. Alih-alih mengendarai mobil pribadi seperti biasanya, kami memilih menggunakan kereta api. Ini bukan keputusan yang mudah. Dengan dua anak kecil dan barang bawaan yang tidak sedikit, menggunakan transportasi umum terasa lebih merepotkan. Namun, begitu perjalanan dimulai, kami merasakan sesuatu yang berbeda.

Di dalam kereta, anak-anak saya bisa melihat dunia dari jendela besar: sawah yang terhampar luas, sungai yang meliuk-liuk di kejauhan, dan burung-burung yang terbang bebas di atas pepohonan. Tidak ada suara klakson atau aroma bensin yang menyengat, hanya gemuruh roda besi yang berpacu di atas rel. Saya melihat mereka terpesona, seakan perjalanan ini bukan sekadar perjalanan, tapi petualangan.

Kami juga memutuskan untuk membawa perbekalan sendiri agar tidak bergantung pada makanan dalam kemasan plastik sekali pakai. Nasi dan lauk tersimpan rapi dalam rantang, air minum dalam botol stainless steel, serta camilan buatan sendiri. Saya masih ingat momen ketika seorang penumpang di sebelah kami melihat dan tersenyum, lalu berkata, “Sudah lama saya tidak melihat orang membawa rantang saat bepergian. Dulu, ibu saya selalu seperti itu.”

Baca Juga :  Eksplor Kota Sejuta Pesona Asia di Mudik 2025

Sesampainya di kampung, saya semakin menyadari pentingnya menjaga lingkungan. Di desa tempat orang tua saya tinggal, banyak hal yang masih dijalankan dengan cara yang lebih alami. Pasar tradisional menjual makanan dengan bungkus daun pisang, warga terbiasa membawa kantong kain atau kaneron, dan sebagian besar masih menggunakan sepeda atau berjalan kaki untuk bepergian.

Saya teringat masa kecil saya, ketika mudik terasa lebih sederhana. Kami naik kereta api ekonomi yang penuh sesak, tapi semua orang berbagi cerita, bercanda, dan bahkan saling berbagi bekal. Tidak ada ponsel pintar yang membuat orang sibuk sendiri-sendiri. Kini, semuanya terasa lebih sibuk, lebih terburu-buru, dan ironisnya, lebih banyak yang tersisa, sampah, polusi, dan jejak karbon.

Di salah satu sudut desa, saya berbincang dengan seorang kakek yang sedang menanam pohon di halaman rumahnya. “Kalau semua orang mudik seperti sekarang ini, desa ini bisa penuh sampah dalam seminggu,” katanya sambil tertawa kecil. Kata-katanya sederhana, tapi menampar kesadaran saya. Jika kita benar-benar mencintai kampung halaman, mengapa kita pulang hanya untuk meninggalkan beban bagi mereka yang tetap tinggal?

Tahun ini, saya dan keluarga berencana untuk melanjutkan kebiasaan baru ini. Kami akan tetap menggunakan transportasi umum, mengurangi sampah selama perjalanan, dan lebih sadar terhadap dampak yang kami tinggalkan. Tapi lebih dari itu, saya ingin mengajak lebih banyak orang untuk berpikir ulang tentang cara mereka mudik.

Banyak yang berpikir bahwa bepergian dengan cara ramah lingkungan itu sulit. Tapi setelah menjalaninya, saya sadar bahwa perubahan itu bukan soal bisa atau tidak, melainkan soal mau atau tidak. Jika kita bisa memilih tempat makan terbaik untuk berbuka puasa, mengapa kita tidak bisa memilih cara terbaik untuk pulang ke kampung halaman?

Baca Juga :  Rekomendasi Destinasi Wisata Menghabiskan Libur Lebaran di Jakarta

Mudik hijau bukan tentang mengorbankan kenyamanan, tapi tentang menemukan makna yang lebih dalam dalam perjalanan kita. Tentang kembali bukan hanya untuk bertemu keluarga, tetapi juga untuk memastikan bahwa tanah yang kita pijak tetap lestari bagi generasi mendatang.

Karena pada akhirnya, mudik bukan hanya soal merayakan perjumpaan, tetapi juga tentang menjaga tempat yang kita sebut rumah agar tetap layak ditinggali, bukan hanya untuk kita, tapi juga untuk anak cucu kita nanti.

Berita Terkait

4 Tips Menghindari Pelecehan untuk Pelancong Solo Perempuan
6 Tempat Wisata Majalengka yang Keindahan Alamnya Bikin Healing
Liburan Seru ke Mojosemi Forest Park 2025 Dengan Wahananya yang Baru Cocok Untuk Libur Lebaran 2025
Bikin Libur Lebaran 2025 Jadi Instagramable,Kunjungi Wisata di Bandar Lampung ini,Masuknya 35 Ribu
6 Cara Mencegah Anak Mabuk Perjalanan Saat Mudik Lebaran
Hanya 1 Jam dari Bandar Lampung Menuju Pantai yang Jarang Orang Tahu,Bisa untuk Libur Lebaran 2025
14 Promo Tiket Masuk Tempat Wisata Selama Libur Lebaran 2025
5 Rekomendasi Hotel/Resort di Serang Banten untuk Staycation saat Libur Lebaran 2025

Berita Terkait

Sabtu, 29 Maret 2025 - 03:42 WIB

4 Tips Menghindari Pelecehan untuk Pelancong Solo Perempuan

Sabtu, 29 Maret 2025 - 02:26 WIB

6 Tempat Wisata Majalengka yang Keindahan Alamnya Bikin Healing

Sabtu, 29 Maret 2025 - 02:26 WIB

Liburan Seru ke Mojosemi Forest Park 2025 Dengan Wahananya yang Baru Cocok Untuk Libur Lebaran 2025

Sabtu, 29 Maret 2025 - 00:00 WIB

Bikin Libur Lebaran 2025 Jadi Instagramable,Kunjungi Wisata di Bandar Lampung ini,Masuknya 35 Ribu

Jumat, 28 Maret 2025 - 23:50 WIB

6 Cara Mencegah Anak Mabuk Perjalanan Saat Mudik Lebaran

Berita Terbaru

Berita

Video Of Father And Daughter In Kenya

Jumat, 11 Apr 2025 - 09:02 WIB

Mc Mirella E Dynho, Ini Latar Belakang Jadi Trending

Berita

Mc Mirella E Dynho, Ini Latar Belakang Jadi Trending

Jumat, 11 Apr 2025 - 09:02 WIB