Menikmati keindahan alam adalah ketenangan yang tidak akan pernah bisa dibeli. Jauh berbeda dengan belanja, yang kesenangannya hanya sesaat, habis uang pusing lagi. Bertemu dengan alam, ketenangan yang didapat berkepanjangan. Karena healing dengan alam bukan hanya tentang senang dan tenang, melainkan bentuk tadabbur alam dan momen untuk lebih mengenali diri sebagai mahluk ciptaan Tuhan.
Saya adalah orang yang tidak suka udara panas. Karena itu, saya kurang menikmati keindahan alam pantai dan lautan meskipun sangat ingin menikmatinya seperti orang lain yang bebas bermandikan cahaya matahari.
Jangankan berlama-lama di laut seperti anak pantai, bermain ke pantai sebentar saja tidak betah. Udaranya yang panas bikin gerah dan sengat mataharinya yang begitu terik pernah membuat kulit saya yang sedikit sensitif ini memerah dan gosong setelahnya. Padahal sudah beberapa hari kembali dari pantai. Kulit saya mengelupas seperti kulit salak. Padahal sudah mengikuti saran teman untuk menggunakan lotion pelindung yang dianggap ampuh. Ah entah lah.
Akhirnya, bagi saya cukuplah keindahan alam pegunungan yang mampu mengusir penat dan tentu saja menghadirkan ketenangan dalam jiwa dan pikiran setiap mendatanginya. Udaranya yang sejuk, angin yang sepoi-sepoi, suara cicit burung yang bersahutan, wangi dedaunan yang khas, membuat takjub dan menenangkan. Rasanya lupa akan semua keluhan yang sebelumnya ada.
Dulu, ketika muda dan masih bebas main kemana saja, saya suka menyempatkan naik gunung dengan teman-teman. Udara dingin pegunungan ternyata lebih ramah di kulit saya. Walaupun gigil menyerang, masih ada jaket yang bisa digunakan. Masih bisa minum kopi susu atau teh jahe hangat untuk diminum, masih ada api unggun yang bisa dinyalakan malam hari, masih ada sleeping bag yang bisa dipakai saat tidur. Suasana gunung selalu mengundang saya untuk kembali.
Namun nyatanya kini sudah tidak bisa lagi pergi ke tempat yang terlalu jauh. Menjadi dewasa dan semakin berumur, tidak memiliki kebebasan yang saya dapatkan seperti dulu. Bukan karena lingkungan yang tidak mengizinkan. Naluri saya sebagai perempuan yang menghentikannya sendiri.
Hati kecil bilang, “mainnya sudah dulu, waktunya fokus pada keluarga dan mendidik anak. Kalaupun harus ke gunung lagi, buat acara bersama keluarga. Kamu tidak harus meninggalkan mereka untuk pergi. Dulu mainnya sudah kenyang kan?”
Namun kecintaan saya terhadap alam tentunya tidak akan pernah pudar begitu saja. Bersyukur kini tinggal di daerah yang masih dekat dengan pegunungan salah satunya adalah Gunung Manik. Gunung yang puncaknya bisa dijangkau hanya dengan jalan kaki 7 km dari rumah ini, udaranya masih sangat sejuk. Cicit burung masih bisa terdengar, wangi aroma rumput dan tanah yang basah sisa hujan masih bisa tercium, jika saja mau mendatanginya.
Kekuatan kaki pun belum melemah, ternyata saya masih bisa jalan kaki 5-8 km menuju puncak gunung yang indah di sekitaran tempat tinggal dalam rangka jalan-jalan pagi di hari Sabtu atau Minggu dengan rute jalan kaki yang berbeda.
Akhirnya saya sadar, saat muda dulu naik gunung adalah ambisi menaklukan tantangan, senang-senang bersama teman, dan nyari kebebasan. Kini pergi ke puncak bukit untuk mencari ketenangan, mensyukuri ciptaan Allah, melatih kekuatan dan tentunya menjaga tubuh agar tetap kuat dan sehat. Serunya, ini bisa dilakukan bersama-sama dengan keluarga.
Membiasakan jalan kaki dan melihat warna-warna hijau, melawati perkebunan kentang, menyapa warga, mandi cahaya matahari pagi, berkeringat dan pulang ke rumah langsung mandi dan membersihkan diri adalah kenikmatan yang luar biasa yang saya miliki saat ini.
Menikmati keindahan alam adalah tenang yang tidak akan pernah bisa dibeli. Saya tidak akan berhenti mendatanginya lagi dengan berjalan kaki. Selesai lebaran nanti, mari kita gas, jalan kaki lagi!
Salam sehat, semoga bermanfaat.