Di setiap perjalanan mudik, selalu ada kisah-kisah kecil yang mengajarkan kita tentang indahnya kebaikan
Kegiatan mudik bukanlah sesuatu yang asing lagi bagi saya. Lahir dari sepasang perantau asal Minangkabau yang mengadu nasib ke pelosok daerah provinsi Jambi, mudik menjadi rutinitas tahunan keluarga untuk pulang menjumpai kebersamaan karib kerabat.
Memori masa kecil saya tentang lebaran adalah soal perjalanan mudik. Jika kebanyakan perantau memilih melakukan perjalanan mudik H- sebelum lebaran, namun orangtua saya selalu meluangkan waktu perjalanan mudik tiga hari atau seminggu setelah lebaran.
Alasan sederhana, disaat orang – orang pada melakukan perjalanan mudik dan kebanyakan toko pada tutup. Di saat itu, ada kesempatan penjualan meningkat karena berkurangnya pesaing toko.
Yup, sebagai pedagang sembako, seperti itulah ayah saya melihat peluang tersebut. Lebaran adalah kesempatan yang baik untuk mengumpul rupiah lebih banyak buat melakukan perjalanan mudik.
Memori saya soal perjalanan mudik saat masa kecil tak lebih soal perjalanan liburan menjumpai kerabat dan menikmati kebersamaan penuh tawa.
Makna mudik yang berkesan justru terjadi saat usia saya menginjak dewasa. Ketika diri ini memutuskan menjadi mahasiswa rantau di Ibukota.
Dan, mudik tak lagi soal menjumpai kerabat. Tapi, terselip cerita sederhana penuh kebaikan dalam perjalanan tersebut.
Kebaikan Hati di Keheningan Malam
Jangan tanya soal keuangan kepada mahasiswa rantau. Kala kebutuhan mudik harus diiringi dengan tekanan kondisi keuangan yang krisis menyatu demi sebuah perjalanan menjumpai rumah.
Tinggal di daerah transmigrasi Jambi, yang memakan waktu hampir enam jam dari kota Jambi mengharuskan saya selalu mengambil jadwal penerbangan paling pagi dari Soekarno-Hatta menuju Sultan Thaha 9 Jambi), agar bisa sampai di rumah menjelang maghrib.
Persoalannya adalah perjalanan menuju Bandara Soekarno Hatta dari Lenteng Agung. Biasanya saya akan melakukan perjalanan jadwal Damri dari Pasar Minggu paling malam dan memutuskan untuk tidur di Bandara menjelang jadwal penerbangan pagi agar tidak ketinggalan peswat.
Suatu ketika saya kehabisan jadwal Damri pukul sebelas malam dan baru ada lagi jadwal Damri pukul 02.00 Wib dini hari. Tak ada transportasi online pada masa itu sekitar tahun 2012.
Dan, tak ada angkot juga saat itu. Posisinya saya sudah di Pasar Minggu yang tidak memungkinkan untuk kembali ke Kosan di tengah dana terbatas.
Uang anak rantau sudah menipis seiring tiket pesawat yang mahal, oleh – oleh untuk keluarga di rumah. Tersisa adalah kerinduan untuk segera sampai di rumah
Keputusan saat itu adalah memasuki warung mie aceh yang masih buka di Pasar Minggu. Hanya bermodal membeli minuman saya pun dipersilahkan menunggu oleh karyawan warung mie aceh tersebut.
Mereka tahu kondisi saya yang ketinggalan Damri dan menunggu beberapa jam ke depan. Atas kebaikan mereka, saya pun merasa aman saat itu berada di warung tersebut dari kejahatan malam ibukota.
Kala itu hati saya tersentuh mereka tak saja memberi saya ruangan untuk menunggu, tapi juga membantu saya memantau laju bus Damri yang lewat di depan warung tersebut.
Sebuah kebaikan yang kadang sulit ditemui di ibukota yang biasanya acuh tak acuh dan terabaikan begitu saja. Malam itu saya belajar bahwa malam hari di ibukota tak selalu melulu soal kejahatan yang mengintai, namun ada kebaikan di keheningan malam.
Indahnya Berbagi Sesama Pejalan
Apa yang menarik dari perjalanan menuju Bandara selama jadi mahasiswa adalah soal indahnya berbagi. Ada kalanya perjalanan membutuhkan waktu cepat sementara bus Damri masih ngetem menanti penumpang lain.
Ada wajah resah mengejar jadwal penerbangan. Di saat seperti ini ada yang iseng menawarkan soal share taksi jika tujuan terminalnya sama.
Share taksi dan share cost tentunya yang tidak terlalu membebani terkait finansial. Sampai tujuan tepat waktu tanpa mengorbankan biaya yang boros. Bonusnya adalah menemui teman bercerita sepanjang perjalanan.
Pengalaman tersebut membuat saya akhirnya menerapkan kala memilih pulang dan mendedikasikan hidup di kota Padang. Saya pernah menerapkan hal serupa saat di Bandara Internasional Minang (BIM) di tengah kejenuhan menanti Damri yang tak kunjung berangkat ke pusat kota.
Share cost menjadi andalan saya kala itu. Memberanikan diri menghampir orang – orang yang bernasib sama dengan saya dan menawarkan untuk sharing taksi. Dari keberanian tersebut, saya mendapatkan teman cerita dalam perjalanan dan belajar soal interaksi sosial yang sesungguhnya.
Pada akhirnya mudik bukanlah soal kisah perjalanan semata, tapi juga perjalanan menemui kisah – kisah penuh makna akan kehidupan ini.
Selamat mudik !
Ramadan Mubarak 1446 H