Jalan kehidupan tidak pernah ada yang tahu. Rencana hidup yang disusun rapi semuanya akan kalah dengan ketetapan Allah yang Maha Tahu. Ya, cuma DIA yang memiliki kuasa atas segala sesuatu. Manusia hanya bisa berencana tetapi lagi-lagi tidak akan ada yang bisa terjadi tanpa kehendakNya.
Seperti halnya saya sebagai perantau tentu momen mudik setiap tahun adalah sebuah upaya untuk melepas rindu. Tidak pernah bisa ditebak akan benar-benar bisa mudik karena semua bergantung pada sebanyak apa rezeki yang Allah beri saat itu. Sungguh sangat bersyukur jika kemudian dimudahkan proses mudiknya, mulai dari menentukan tanggal keberangkatan, moda transportasi yang dipakai hingga persiapan budget agar di kampung halaman tidak merepotkan orang tua atau saudara karena biaya hidup selama mudik harus aman.
Nah, cerita mudik saya yang sudah beberapa kali merasakannya sejak dari gadis hingga sekarang punya anak tiga, jelas sangat berbeda. Belum lagi saat-saat hamil, mudik pun benar-benar harus diperhitungkan agar ibu dan bayi tetap sehat.
Jodoh Lintas Pulau, Mudik Pun Kadang Galau
Tidak pernah tahu kalau akhirnya punya jodoh orang Jawa. Saya yang dari Sulawesi tentu mengalami culture shock. Salah satunya pada ritual jelang Ramadan dan jelang Lebaran. Bahkan di hari Lebaran pun banyak pemandangan yang berbeda. Itu kalau misalnya Ramadan dan Lebaran memilih di Jawa. Beda lagi kalau mudik ke kampung halaman saya di Maros, Sulawesi Selatan. Suami pun sempat heran di awal tetapi lama-kelamaan menjadi enjoy dan terkadang menambah wawasan dengan bertanya lebih dalam.
Namun, seringnya kami berdua galau menentukan Lebaran tetap di Jawa (mudik ke kampung halaman suami, Kertosono, karena domisili kami di kota Surabaya) atau terbang jauh ke Maros dengan pesawat. Kalau ada yang lihat kehidupan kami, pasti menyarankan untuk naik kapal laut, tetapi galau karena saya fobia air yang banyak. Kalau masih di pinggir pantai sih masih oke, tetapi kalau sudah di tengah lautan, rasa takutnya jauh lebih besar.
Makanya, jauh-jauh hari (bahkan setelah Lebaran) kami sudah diskusi biasanya, tahun depan bakal mudik ke Sulawesi atau tetap di Jawa. Hasil diskusinya memengaruhi pola kerja keras kami mencari cuan soalnya, hehe. Bukan malas berusaha untuk dapat banyak tetapi kadang kami tidak ngoyo karena sadar bahwa kondisi fisik sudah tak sama dan ada anak-anak yang masih butuh orang tuanya yang sehat jasmani dan rohani.
Moda Transportasi Mudik yang Juga Sering Bikin Galau
Momen mudik tahun-tahun sebelumnya, kami tidak pusing karena selalu menyisihkan uang dengan sewa mobil travel. Namun, tahun ini sepertinya harga naik gila-gilaan. Kalau dipaksakan maka keinginan berbagi dengan teman, saudara dan siapa saja yang dekat dengan kami jadi terhambat.
Beruntung sekali kami dapat tiket setelah berjuang mendapatkan tiket kereta lokal. Awalnya sudah pesimis karena biasanya cepat penuh di H-7 tetapi alhamdulillah terjaga di jam 12 malam masih memiliki kesempatan mendapatkan tiket mudiknya. Pesan 6 seat untuk 5 penumpang agar kami sedikit lebih leluasa di atas kereta. Alhamdulillah harganya sangat hemat.
Bagaimana keseruannya? Mungkin akan diceritakan tahun depan jika ada tantangan Ramadan Bercerita lagi dari Kompasiana. Soalnya baru berangkat hari Sabtu 29 Maret 2025. Semoga panjang umur supaya bisa tetap ikutan.
Namun, pengalaman mudik tahun sebelumnya memang sulit dilupakan karena masing-masing punya memori yang cukup dikenang anak-anak selama perjalanan.
Paling menyenangkan saat mudik ke Maros, kami harus memilih tanggal hari raya demi mendapatkan harga tiket yang benar-benar murah. Bayangkan yang berangkat lima orang. Dan syukur alhamdulillah kami bisa PP Surabaya-Maros-Surabaya hanya menghabiskan biaya tiket sekitar 5 juta rupiah saja. Jadi, subuh-subuh kami sudah harus tiba di bandara Juanda, Sidoarjo karena dapat penerbangan paling pagi. Anak-anak pun bahagia dan tidak ada drama sama sekali bahkan pramugari saking senangnya malah memberi permen ke anak-anak. Yaa anak-anak berterima kasih dengan wajah yang penuh kebahagiaan.
Sayangnya momen itu harusnya bisa diulang tahun ini, hanya saja takdir berkata lain. Budget kami harus dikeluarkan untuk keperluan ibu mertua yang butuh pengobatan karena jatuh dari kamar mandi. Di satu sisi saya sedih karena tidak bisa pulang apalagi saudara suami harusnya ikut bantu biaya pengobatan tapi semua dibebankan ke suami. Di satu sisi saya bahagia karena ternyata masih banyak pelajaran sabar dan ikhlas yang harus dipelajari di depan mata.
Ya, jadwalnya dua tahun sekali pulang ternyata tidak bisa. Membayangkan momen bersama ketiga adik saya dan juga mama berziarah ke rumah bapak di makam. Bisa keliling makan masakan khas Sulawesi Selatan ternyata harus pupus dan disimpan harapan semoga tahun depan bisa pulang. Berharap semua masih sehat, panjang umur dan rezeki mengalir deras tiada henti.
Beginilah kalau jadi perantau. Momen mudik bisa jadi momen bahagia, bisa juga jadi momen galau. Makanya, sebelum menikah coba dipikirkan lagi mau cari jodoh lintas pulau atau yang sesama pulau. Sebab momen mudik yang akan memberikan pengalaman yang tak terlupakan setiap tahunnya, entah itu sedih atau bahagia.
Pastinya, jalani saja hidup sebagai perantau karena takdirnya sudah di situ…
***
Well, seperti itulah cerita mudik yang mungkin sama dengan beberapa anak rantau. Suka dukanya memang harus dijalani bahkan sesekali disisipkan dengan senda gurau. Semuanya demi menjalankan kewajiban sebagai hambaNya agar makin diberi keberkahan dan Tuhan memberinya tanpa ragu.
Selamat mudik teman-teman Kompasianer, di manapun kota tujuan mudiknya. Jangan pernah lupa bahwa mudik bukanlah kewajiban tapi hanya sebuah tradisi dan jika memang tidak mampu mewujudkan, maka tidak elok jika memaksakannya…