Ramadan Bercerita 2025 hari 25 bertema “Cerita Mudik”. Sebuah tema yang bagi banyak orang mampu mendatangkan kebahagiaan dan kenangan. Namun di sisi lain bagi sebagian kecil orang, justru menghadirkan kegamangan.
Entah kegamangannya bersifat internal atau eksternal. Yang bersifat internal tentu tergantung pada perasaan dan pengalaman masing-masing. Cenderung subjektif. Sementara yang bersifat eksternal cenderung objektif.
Nah. Kali ini saya hendak membahas kegamangan yang bersifat eksternal, terkhusus yang berkaitan dengan jalan. Iya. J-a-l-a-n.
Hendak mudik ke mana pun, kita pasti melalui seutas atau berutas-utas jalan ‘kan? Ada yang jalan biasa. Ada yang jalan tol. Pokoknya apa pun. Meskipun mudik dengan kapal laut atau pesawat terbang, tetap saja pada akhirnya ada jalan darat yang ditempuh.
Dari pelabuhan atau bandara, perjalanan ke kampung halaman pastinya kita lalui di sepanjang jalan darat. Terlebih untuk orang seperti saya yang memang 100% mudik melalui jalur darat.
Namun, alangkah malang diri ini. Justru kondisi jalan yang menjadi rute mudik saya sangat bermasalah. Dari Kota Yogyakarta sampai ke pinggiran selatan Kota Pati jalanan masih oke. Tak perlu dibahas.
Yang bikin gamang adalah ketika mulai keluar dari Kota Pati menuju kampung halaman saya. Sudahlah tak ada transportasi umum kecuali ojek, ditambah kondisi jalanan yang aduhao bergelombang.
Bergelombang betulan, lho. Realitanya kita naik mobil atau sepeda motor, tetapi rasanya seperti berkuda di perbukitan. Ya ampuuun. Mobil yang kita naiki bisa serasa tenggelam ke dasar kolam renang. Makin repot saat musim hujan sebab “kolam renang”-nya berisi air hujan.
Betulan sudah lelah duluan kalau hendak mudik. Itulah sebabnya saya merasa agak gimanaaa gitu kalau hendak mudik. Untung saja kebobrokan jalan raya antarkecamatan itu masih bisa disiasati.
Bagaimana cara menyiasatinya? Tak lain dan tak bukan, dengan cara mencari rute lain untuk sampai ke rumah tujuan mudik. Rute lainnya adalah menghindari jalan raya antarkecamatan itu. Potong kompas lewat pedesaan.
Terlebih jalan-jalan kecil di seluruh pedesaan yang saya lalui ternyata mulus-mulus. Yang kelak di kemudian hari, pada awal tahun 2025 ini, baru saya sadari kalau mulusnya sebab ditopang Dana Desa.
Semula saya memang cuma takjub. Kok jalanan pedesaan jadi nyaman-nyaman begitu? Sementara jalanan yang menghubungkan kecamatan satu dengan kecamatan lainnya aduhai bobrok. Dibiarkan bobrok sejak saya masih berusia anak-anak hingga sekarang.
Yang usut punya usut akhirnya saya paham, dari mana asal muasal pembiayaan pembangunannya. Yup! Tak lain dan tak bukan, intinya adalah Dana Desa.
Salam.